Selasa, 05 April 2011

Salah Alamat By: Husain La odet

Ia tersentak bangun dari tempat tidurnya. Ia melongok ke luar jendela,   “ada pak Pos”!? Dalam hitungan detik Abdul telah berada di luar pintu gerbang rumahnya. Beberapa kali matanya menengok ke arah kiri dan kanan. Jalan desa masih juga terlihat lengang seperti hari-hari kemarin.
Lelaki muda muda itu selalu berdiri di sana. Kebingungan seperti hari-hari yang sudah lewat, menunggu sesuatu yang sama, meski waktu yang selalu berbeda.
Suara  lonceng yang ia tunggu tentu suatu suara yang berbeda dari lonceng-lonceng yang lain,—yang kerap membuat hatinya bergetar, dan jantungnya berdegub cemas.
Hari itu hampir membuatnya gila. Suara lonceng lamat-lamat dari kejauhan, debaran jantungnya berdenyut seribu kali lebih kencang. “Itu pasti dia”, Abdul berharap cemas. Namun kali itu lonceng lewat begitu saja di depan rumahnya, kemudian berhenti diujung jalan. Rupanya lonceng sepeda milik Badrun, si tukang sepatu itu baru saja membangunkannya. Bukan hanya kedua bola mata yang terjaga, tetapi segenap indaranya tercurah untuk memburu jejak sumber suara lonceng.
Aneh memang, setahu Abdul, warga sekitar hanyalah Wahit si tukang sayur yang memiliki sepeda lengkap dengan lonceng, dan ia mengenali persis suara lonceng sepeda milik wahit, “pasti cempreng dan soak”.  Tentu ia tak menggubrisnya.
Abdul berpikir keras tentang lonceng. “Badrun si tukang sepatu beli lonceng dan memasang di sepeda miliknya sejak kapan ya”? Ia mulai mengira-ngira, mungkin dua atau tiga hari yang lalu. “Lonceng…, belinya dimana? Masih adakah orang yang menjualnya? “Ya mungkin juga! Tetapi lonceng milik badrun adalah suara lonceng yang sejenis dengan suara benda kecil yang selama ini aku tunggu”. Apa iya…lonceng itu dipinjam oleh Badrun kepada yang membawa lonceng, dan kemudian Badrun memasang di sepeda miliknya? 
Begitu serius ia memikirkan tentang jenis lonceng, hingga memaksa kedua otak kanan dan kirinya bekerja keras untuk mencari jawaban.     
Tetangga sebelah rumahnya juga ikut mengawasi tingkah polahnya yang terkesan aneh. Pak Usman, hampir bosan menghitung-hitung lagi jari tangannya. Lebih dari  enam belas kali ia mendapati Abdul yang lari tergopoh keluar rumah, dan anehnya pasti berhenti di depan pintu gerbang, sambil menengok ke arah kanan dan kiri. Kebingungan memikirkan sesuatu.
Tetapi Tohir, seorang kakek pemilik warung kadai kopi di seberang jalan, melihat keanehan Abdul sudah hampir dua bulan lamanya. Ia sempat memikirkan keanehan anak itu, tetapi kadang pikirannya ia tepis sendiri. Karena yang ia kenal Abdul itu memang aneh dan nyentrik, pasti suka berilusi dan bertingkah aneh. Itu mungkin caranya untuk mendapatkan inspirasi atau sebangsa kata-kata sebutan bagi orang yang suka bersyair.
“Dul”, apa ente nggak ngopi hari ini?
Pak Tohir mencoba menyapa Abdul yang sedari tadi masih berdiri bengong di depan gerbang. Dari seberang, Abdul hanya mengisyaratkan dengan menggeleng.
Ente cari Siapa?
Kakek itu kembali berusaha teriak ngotot untuk mendapat jawaban, tak jarang mulutnya maju ke depan menyerupai moncong bemo. Abdul seperti biasa tetap saja pasang aksen membisu, kemudian bahasa tubuhnya mengisyaratkan hanya dengan lambaian tangan dan setelah itu akan berlalu menghilang ke dalam rumahnya.
Di dalam kamar Abdul kambali termangu-mangu “kenapa ia belum datang juga’? batinnya.  Ia lalu melangkah menuju kalender yang tergantung persis di balik pintu. Hari yang ke delapan belas bulan agustus, dibulatinya dengan tinta merah. Satu angka lagi ia bundari. Angka-angka kelender nampak penuh dengan tinta, nyaris dipenuhi bulatan-bulatan kecil. Persis menyerupai gugusan balon sabun di selokan.
Setumpuk kertas masih berserahkan di pojok ruang. Ampas kopi, dan puntung rokok juga ikut menyatu.  Abdul, membuka daun jendela, mengharap udara segar pagi itu dapat membersihkan setiap dinding tembok kamarnya yang lembab dan lengket oleh bau nikotin dari berpak-pak rokok, pasti di dalamnya bersenyawa juga dengan setumpuk debu yang basah dan dingin.
Ia tak pernah membersihkannya atau menyapu lantai. Apalagi menyemprotkannya dengan wangian parfum ruangan dari luar negeri. Paling-paling bilik ukuran 3x3 meter itu sekali atau dua kali sebulan dipel bersih oleh ibunya dengan sabun colek buatan cikampek. Memang selalu bersih ketika ibunya membereskan apa-apa yang berantakkan di kamarnya. Saking bersihnya, sampai-sampai Si Dul uring-uringan memburu kembali beberapa kertas hasil coretannya yang kadang berimigrasi sampai ke dalam bak sampah.
 Naskah 450 halaman yang ia tulis  selama hidupnya, seperuh telah terbakar di tong sampah. “Allahu Akbar….” Teriaknya sambil terhuyung-huyung menuju sumber api. Ia melompat dari jendela kamar, berlari seperti kilat, menerobos kebun singkong dibelakang halaman.
“Hidupku telah tamat”, teriaknya menggema ke mana-mana.
Tetangga dan beberapa orang yang kerap nongkrong di kedai kopi berhamburan menuju sumber suara.
“Ada apa Dul kamu teriak-teriak”, kata pak Tohir.
Ia tak menggubris di sekitarnya, tetap saja ia sibuk memadamkan api.
“Dul apa yang kamu lakukan”?  suara Pak Usman dibalik pagar. Sementara ibunya yang mendengar kegaduhan itu pun menghampiri. Wajah polos ibu paruh baya itu nampak pucat pasih ketika mendapati anaknya yang tengah bergumul dengan kobaran api di bak sampah.
“Kalian semua tahu bahwa saya pertaruhkan hidupku hanya untuk ini”!
Abdul menunjukkan satu jilid naskah di tangannya yang telah seperuh terbakar dari kobaran api.
Apa itu peta harta karun? Tanya Usman
Iya benar, ini peta harta karun. Dan peta ini hanya ada ada dalam kepalaku.
“Berarti selama ini kamu bersemedi di dalam kamar, hanya untuk mendapat wangsit tentang peta harta karun”? Ngotot Usman
Ya..saya bersemedi dengan menuliskan mantra-mantra. Mantra itu saya cetuskan sendiri dalam duniaku yang jauh. Dan kalian tentu tidak dapat menjangkaunya. Sebab untuk menjangkaunya butuh ilmu dan keyakinan. Pernahkah terpikirkan oleh kalian bahwa saya telah menciptakan duniaku sendiri? Bahkan ber-triliunan ion-ion, molekul, dan senyawa-senyawa telah aku satukan. Untuk apa? Hanya untuk membuat dunia yang saya letakkan diatas kertas-kertas ini. Aku tahu kalian pasti menganggapku gila, bahkan aku tahu kalian telah mentertawakanku sampai hari ini. Tapi saya yakin kalian suatu saat akan tercengang dan nampak bodoh ketika melihat dunia yang aku ciptakan itu akan sesak dengan antrian panjang manusia seperti kalian, sekedar memohon kepadaku hanya untuk menjadi penghuninya.
Apa yang kau ketahui dengan dunia yang kau buat nak? Suara ibunya parau, merambahi suasana. Sesaat terdiam. Seperti ada aliran listrik yang tiba-tiba menjalar digendang telinga. Abdul mendongkak dan menatap wajah ibunya yang masih menyimpan cinta. Dimatanya, Abdul melihat ada buliran cahaya, dimana ada cita-cita dan harapan seorang ibu, tentang cinta dan masa depan.
“Iya saya Bu…”  Abdul menaruh hormat.
 Apakah pertanyaan ibu ditujukkan kepada Abdul?
Benar Dul, dunia seperti apa yang ingin kamu jelajahi, dan apakah duniamu ada di dalam ruangan itu? Ibunya menunjuk kearah rumah, tepat di sebuah dinding kamar yang telah terbuka daun jendelanya.
Mungkin ibu, tetapi dunia yang aku maksud sesungguhnya sebuah dunia yang panjang dan jauh untuk dijelajahi. Dunia itu telah aku temukan dalam dirimu, mungkin ketika berada dalam rahim ibu, atau memang justru pertanyaan itu tengah aku arungi di alam raya yang kita sebut sebagai dunia ini. Tetapi yang terpijaki oleh kita, bukankah jembatan titian menuju dunia tanpa batas? Sesungguhnya tidak ibu, aku belum menemukannya.
“Kau telah menemukkannya Abdul”. Tetapi bukan di sini atau dimanapun. Jika engkau mencari duniamu yang hilang, itu bukan suratan. Maka temukanlah di dalam dirimu.
Kau bilang, kau tak menemukannya? Sekarang bukalah matamu, dan tatap apa yang kau dapati di sekitarmu. Bukankah ini adalah cermin dari dunia tanpa batas yang kau maksud?
“Ibu, bukankah ibu telah mengajariku untuk mempelajari isi duniaku”
“Ya,  itu yang aku maksud mikrokosmos”, kau telah berkenalan dengannya?
            “Aku tengah mengarunginya ibu”
Lalu kau mengenalnya dengan apa..?
“Dengan kertas dan pena”
Kertas dari apa, dan pena dari siapa?
“Kertas itu alam raya ini ibu, dan pena adalah ketajaman pikiranku”
Tentu kau menulis semuanya bukan?
“Iya benar”
Itu namanya makrocosmos. Dunia yang yang tanpa batas. Sedangkan segala pernik yang terekam lewat lensa mata, kemudian diolah dalam otak kiri dan kananmu itu hanya percikan buih. Naskah kehidupan yang kau tulis sepanjang hidupmu itu hanyalah secuil yang engkau ketahui anakku.         
Hari yang ke 68, seisi dunia tengah bersenda-gurau dengan musim semi. Begitu juga jalan desa masih lengang. Namun beberapa hari berikutnya suara lonceng semakin berdesakkan. Hampir tak punya jarak dan jedah.  Semua warga yang memiliki sepeda telah memasang loncengnya. Suara-suara dari lonceng-lonceng itu kerap membuat hatinya risau. Ia mulai resah dengan pendengarannya yang semakin berat untuk bekerja. Membedakan suara lonceng yang benar-benar dinanti selama ini, sangatlah sulit untuk memilah-milahnya diantara riuh suara lonceng sepeda warga yang tengah bereforia dengan aksesosris kebendaan.
“Ini berbahaya”, bisa-bisa kebisingan lonceng-lonceng itu akan membuat kepekaanku berkurang. Bagaimana kalau lonceng yang kutunggu itu tak mengenali alamat rumahku? Atau paling tidak lonceng itu tak berhenti atau tak menanyakan pak Tohir pemilik kedai di seberang jalan, tentu ia akan tersesat. Jika ia tersesat, lalu apakah lonceng itu akan membawa kabarku ke alamat yang salah? Bagaimana kalau yang menerimanya adalah penjahat, dan kemudian membunuh lonceng itu? Atau jangan-jangan sang lonceng telah lewat saat warga deman memasang lonceng di sepedanya? Diantara kebisingan itu, mungkin ia tak sempat membaca alamatku?
Oh…tidak!! Dalam sesonggok tubuhnya terlibat konflik yang sengit antara hati dan akalnya.
“Ia pasti belum lewat. Sebab pak Tohir belum pernah menceritakan sesuatu apapun, apalagi tentang lonceng asing yang singgah dikedai kopi miliknya”.
Percakapan tanpa suara dalam dirinya kian berkecamuk, hampir saja deadlock, namun ia akhirnya lebih memilih hati yang bertindak mengambil keputusan.
Sebuah benda segi empat, menyerupai kue wajik telah berdiri tegak. Satu tiang kayu penyokongnya dicat warna putih, begitu juga dengan kotak diatasnya. Di sisi depan nampak tertulis jelas dengan cat hitam “Kotak Surat”. Jl. Terusan dunia tanpa batas, Nomor 001 Desa alam raya.
Hari itu, Abdul agak lega. Ia telah memastikan bahwa lonceng itu tak akan tersesat untuk menemukan alamatnya. Ia tak perlu lagi berlari keluar dan berdiri di gerbang. Lonceng itu akan berbunyi dan berhenti di depan gerbang, kemudian pengantarnya akan memasukkan surat di dalam kotak surat miliknya. Bahkan di seluruh rumah warga sepanjang jalan terusan itu, hanya rumah Abdul yang memiliki kotak Surat.
Mulai saat itu Abdul tak pernah terlihat berada di depan gerbang seperti waktu-waktu sebelumnya. Pun berhari-hari pula tak ada sapaan pak Tohir yang sekedar basa-basi menanyakan apakah sudah minum kopi atau belum kepada Abdul. Atau gerutu pak usman yang cermat memperhatikan setiap tingkah polahnya yang serba aneh.
Dunia mendadak sepi, pak Tohir merasa ada yang kurang dalam kesehariannya. Ia tak lagi menemukan pemandangan yang kerap diakrabinya di seberang jalan, Abdul yang berdiri bengong dengan cemas. Rasanya kurang lengkap ketika dia membuka warung tak bercakap lebih dahulu dengan anak muda yang saban hari berdiri gusar di depan gerbang.
Sepertinya dunia ini kehilangan,  tak ada lagi suara Abdul yang memecah sunyi dengan syair-syair jiwa yang dibacakannya sepanjang malam. Puisi kehidupannya lenyap seketika dari keriuhan suara lonceng sepeda warga yang menyemuti jalan desa. Kenapa harus kehilangan? Apakah dia begitu penting bagi dunia ini, sehingga alam raya berkabung lantaran telapak kaki abdul tak menyentuh tanah dan berlari menuju gerbang? Ke mana si Dul?
Sebulan berlalu. Riuh suara lonceng sepeda warga pun ikut lenyap. Gerbang rumah nampak berkarat, dedaunan perdu merambahainya penuh. Kotak Surat mulai kusam catnya. Tak ada satupun pelanggan kedai kopi pak Tohir yang sekedar iseng  menanyakan tentang keberadaan Abdul.
Pagi yang teduh, cahaya mentari masih enggan menindih celah ranting tua pepohonan yang menutupi gerbang. Pak tohir melangkah mendekati pintu gerbang itu. Ia menatap lama ke dalam halaman. Agak lama ia tercenung, menyaksikan dunia yang sunyi. Lalu ia menghampiri kotak surat, jantungnya berdegup kencang, memikirkan apa isi kotak kayu yang sudah berada di hadapannya. “Prak…” suara kotak itu terbuka. Sebuah amplop coklat telah berada di dalamnya. Ia mengamati dengan cermat amplop itu, beberapa kali ia membalik-balikanny, tak ada tulisan apapun.
Pak Tohir berpikir keras setelah membaca tulisan pada amplop surat itu. Ia berjalan cepat setengah berlari menuju teras rumah yang tak lagi berpenghuni itu. “Assalamu’alaikum”, ia mengetok pintu berkali-kali, tetap saja tak ada jawaban.
Sebuah nota berita yang tergantung di depan daun pintu, membuat sekujur tubuh  pak tohir merasa dikuliti, “Kami telah pindah menuju dunia tanpa batas. Jika anda ada yang melihat lonceng berhenti di depan rumah kami, dan menemukan  surat di dalamnya, berarti milikmu”.
Jantung Pak Tohir bagai tercabut. “Mungkinkah aku juga telah berada di dunia tanpa batas”? Lalu ia membuka dan membaca amplop itu penuh cemas;
Kepada Yth, penghuni kehidupan!
Maaf, bila surat ini baru tiba kepadamu. Samasekali bukan karena dunia ini tak memiliki batas, namun itulah rahasia sesungguhnya. Untuk diketahui bahwa surat ini pun telah menempuh bermiliaran massa, dan bertriliunan abad ukuran waktu, untuk sampai kepadamu.
Bukan hanya melewati jalan panjang dan berkelok, akan tetapi sebenarnya naskah kehidupan yang telah kau kirimkan kepada kami, secara seksama telah dipelajari dan  kami putuskan untuk diterbitkan di dalam “Kotak Suratmu…!!
“Astagfirullah halazim”, Pak Tohir pengelus dadanya pelan.
“Kotak Surat……..” lonceng……..
Suara lonceng……….”Kotak surat….”
Abdul ???    
“Ooooooh tidak!!”
Ini pasti…..pasti…tidak….
Ini salah alamaaaaaattttt ………..!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar